Kamis, 24 September 2009

4 MUSIM, 86 PURNAMA, 1 CINTA (Bagian 8 - TAMAT)

86 purnama telah kulalui di negeri empat musim ini. 86 purnama atau kurang lebih 7 tahun sudah kuabdikan hidupku sepenuh jiwa ragaku pada Evan, pada keluargaku, anak - anakku tercinta. Sebagian dari hari - hari pengabdianku itu ternyata hampa. Semua cuma sandiwara. Evan telah ternoda, telah jatuh dalam pelukan perempuan lain. Cintaku, cinta kami, telah terlanjur ternoda.


Apakah ini semua salahku? Salahkah aku kalau aku tak bisa lagi menjaga penampilanku seperti dulu? Salahkah aku yang mengabdikan semua waktuku untuk mengurus keluargaku? Salahkah aku kalau penyakit arteritis merayapi dan menggerogoti kesehatanku? Salahkah aku Tuhan, kalau aku bukan lagi Ira yang dulu membuat Evan tergila - gila? Ira yang dulu membuat Evan rela menyeberangi samudra dan meninggalkan tanah airnya untuk hidup bersamaku. Salahkah aku yang karena cinta rela meninggalkan tanah airku?


Seandainya kami tetap tinggal di tanah Dewata, tentu semua ini tak akan terjadi. Aku pasti punya waktu merawat diri, karena ada Ni Luh dan Anwar yang membantuku. Aku pasti tidak kena arteritis karena cuaca di Bali tak sekejam musim dingin di Kanada. Dan yang terpenting, seandainya kami tetap tinggal di Bali, tentu Evan tak akan pernah bertemu dengan Sofie. Evan tak akan meninggalkanku 12 jam sehari untuk bekerja. Aku selalu menemaninya saat kami berdua menjalankan usaha jual beli villa di Bali dulu. Kami selalu bersama. Seandainya kami tidak meninggalkan tanah leluhurku, Enya tak perlu mengalami kejadian penembakan yang traumatis ini. Seandainya… seandainya.


Tapi hidup bukan untuk berandai - andai. Hidup adalah realita, kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani. Hidup adalah masa depan dan tak bisa berhenti di satu titik. Hidup bukan untuk duduk berandai - andai. Hidup juga bukan melulu harus diisi dengan penyesalan, melainkan harus diisi dengan harapan dan semangat. Ketabahan. Ketegaran. Kebesaran hati. Optimisme. Hanya saja, saat ini aku harus jujur. Tak ada lagi kata - kata bijak tersisa dalam diriku. Aku bukan malaikat. Kata - kata bijak itu hanya ada dalam buku - buku yang pernah kubaca. Aku cuma manusia biasa yang saat ini merasakan kemarahan, dan rasa sakit yang luar biasa. Saat ini aku meradang. Dan semua merasakannya. Bukan cuma Evan, tapi juga Edo dan Enya.


Mereka tentu bertanya - tanya, mengapa papanya tak lagi tidur sekamar dengan mamanya. Mengapa papanya kini berhenti bekerja dan harus menggantikan mamanya mengurus mereka setiap hari. Mengapa mama sekarang hanya mengurung diri di kamar sepanjang hari. Sakitkah mama? Memburukkan penyakit arteritis mama?


“Telepon dari Indonesia Ra,” Evan masuk membawakan telepon wireless ke kamar. Kuterima tanpa suara.

“Hallo”

“Ira, Oom Dewo disini.”

“Oom…” aku langsung terisak. Merasa tak lagi sendiri. Merasa punya tempat mencurahkan isi hati dan kalau bisa meminta sedikit resep ketabahan.


“Oom sudah dengar semuanya. Made sudah kembali ke tanah air. Sekarang mendekam di penjara Canggu menunggu hukuman.” Ujar Oom Dewo “Ia minta oom menyampaikan terimakasihnya padamu. Kamu yang telah mengatur kepulangannya ke tanah air dan supaya dia diadili di Indonesia katanya. Betul?”

“Iya Oom,” isakku lirih.

“Made menitipkan pesan pada Oom…pesan penting”

“Apa katanya Oom?”

“Dia minta maaf. Dia bilang, kalau kamu memaafkan dia, kamu dan suamimu harus hadir di acara ngaben”

“Ngaben?”

“Made gantung diri di sel tahanannya semalam, Ra”

“Ya Tuhan…”

***


Barisan pria dan wanita berpakaian serba hitam melangkah bagai tentara menuju tepi laut di daerah Tanjung Benoa. Sinar mentari di Bali jauh lebih galak ketimbang musim terpanas sekalipun di Kanada. Menjilat seluruh permukaan kulitku sampai gosong meski berlapis - lapis krim penahan sengatan matahari telah kuoleskan di sekujur tubuhku. Arak - arakan menandai upacara ngaben yang dilakukan sekaligus untuk beberapa orang yang meninggal, termasuk Made. Tak satupun orang yang kukenal. Aku memang tidak terlalu akrab bahkan tidak tahu menahu sama sekali mengenai keluarga Made. Hubungan kami hanya sebatas teman kuliah tak pernah lebih dari itu. Aku bahkan tak pernah tahu dari Banjar mana ia berasal.


Edo dan Enya menggenggam erat tanganku. Yang satu di kanan yang satu di kiri. Sementara Evan melangkah dibelakangku. Iapun, seperti aku dan anak anakku, mengenakan pakaian adat Bali untuk menghormati upacara ngaben ini. Keringatnya bercucuran. Deras. Tangan Enya dan Edo juga basah karena kepanasan.


“Edo haus ma..” tukas Edo.

“Kaki Enya lecet nih ma” Enya menunjukkan kakinya yang lecet gara - gara tak biasa menggunakan sandal. Maklum, di Kanada mereka selalu mengenakan kaus kaki dan sepatu. Bahkan di musim panas sekalipun. Kulit kaki mereka lembut seperti kulit bayi dan sangat sensitif kalau harus bergesekan dengan kulit atau plastik. Terlalu terbiasa dimanjakan dengan buntalan kaus kaki katun yang lembut, agaknya.


“Kita berhenti sebentar. Ayo,” kuajak mereka ke sebuah warung. Evan hanya mengikuti. Tak banyak bicara. Bahkan waktu aku memutuskan menghadiri pemakaman Madepun, sebetulnya aku tak mengajak Evan. Aku hanya memberitahukan rencana kepergianku dengan anak - anak. Tahu - tahu Evan ikut pergi, diam - diam membeli tiket pesawat sendiri. Tahu - tahu dia mendampingi kami disepanjang perjalanan. Tinggal di hotel yang sama dengan kami pula, meski berbeda kamar. Entah tahu darimana.


“Minum?” tanyaku agak kasihan melihatnya kepanasan.

Evan menggeleng “Anak anak saja dulu kamu urus”

Enya dan Edo menyeruput tandas sebotol teh dingin dalam sekejap. Botol keduapun dipesan. Sembari menyaksikan arak - arakan upacara ngaben yang seperti tak ada habis - habisanya itu, kami melepas lelah di warung. Kutempelkan tensoplas di kaki Enya yang lecet.

“Kalau Enya ngga kuat jalan lagi, tunggu saja disini sama papa, ya?” ujarku.

Enya mengangguk.

“Yang meninggal itu siapa sih ma?” tanyanya penasaran.


Aku terdiam. Haruskah kukatakan yang sebenarnya pada Enya? Bahwa kami jauh - jauh kemari untuk menghadiri pemakaman orang yang telah menembak kakinya? Haruskah kujelaskan pada Enya, rasa terimakasihku pada Made yang telah membongkar perselingkuhan ayahnya dengan seketaris itu? Haruskah mereka, anak - anakku, tau apa yang sebenarnya terjadi antara aku, ayah mereka dan seketarisnya? Haruskah mereka belajar mengenai kebohongan dan pengkhianatan cinta di usia yang masih begitu belia? Dan yang paling pelik lagi, haruskah mereka kehilangan kebanggaan terhadap ayah mereka?


Kebencianku pada Evan tak bisa kulukiskan dengan kata - kata. Semua wanita pasti bisa membayangkan, sakitnya di bohongi. Semua wanita, terutama yang pernah mengalami kejadian yang sama, pasti maklum kalau aku menuntut cerai dan tak bisa memaafkan pengkhianatan suamiku. Semua wanita pasti punya harapan yang sama mengenai cinta. Bukan cuma wanita, tapi juga kaum adam, aku yakin tak ada manusia yang rela dikhianati. Tak ada manusia yang bisa memaafkan dengan hati lapang. Dan kalau semua orang mau jujur, seringkali memaafkan bukanlah melupakan. Kata - kata maaf hanya terucap di bibir, tapi tak mampu menghapus luka bathin yang sudah terlanjur terukir. Sampai sekarang belum ada obat dokter yang bisa menghapus luka bathin manusia. Sebab kami adalah manusia bukan malaikat.


Turtle! Turtle! “ teriak Edo sembari lari kearah laut.

Edo! Hati hati!” teriakku.

Tapi Edo tak lagi menghiraukan teriakanku. Ia terus berlari. Enya dengan terpincang - pincang juga ikut lari menyusul adiknya.

“Enya mau liat kura - kura juga ma…” ujarnya sebelum melesat.


Keindahan alam pulau dewata yang masih serba natural memang unik dan memukau terutama buat anak - anakku. Keaneka ragaman satwa liar yang masih berkeliaran dimana - mana membuat mereka antusias. Sebuah kemewahan tersendiri buat mereka. Sesuatu yang tidak bisa ditukar atau dibandingkan dengan uang. Bahkan kota moderen, kota mercusuar seperti Negara barat tempat mereka tinggalpun tak mampu bersaing dengan alam nusantara. Di Kanada kami memiliki semuanya tapi tidak bisa membeli panorama, adat istiadat, alam raya. Sungguh melegakan bahwa ternyata, di dunia ini masih ada sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang.


Telepon genggam Evan berdering. Aku melengos tak mau perduli. Evan mengangkatnya dan bicara. Aku tak berniat mengetahui isi pembicaraannya. Paling - paling urusan kantor atau dengan keluarganya. Masa bodoh. Aku tak mau tau lagi. Dimataku Evan sudah tidak eksis. Bahkan diam - diam aku berharap, kata kata perceraian itu akan keluar dari mulut Evan. Bukan dariku. Aku tak mau mengingkari sumpah pernikahanku untuk hidup setia sampai akhir hayatku. Maka lebih baik aku menunggu. Menunggu sampai Evan sendiri yang menyatakannya. Toh dia sudah mengkhianati sumpah pernikahan itu dengan perselingkuhannya.


Evan mengakhiri pembicaraannya.

“Mereka sudah selesai dan cargo akan dikirim besok” ujarnya lirih.

Cargo? Cargo apa?” ssahutku acuh tak acuh.

“Semua barang barang kita besok akan dikirim kemari”


Seketika tenggorokanku tercekat. Apa maksudnya? Semua barang - barang kami? Dikirim? Dikirim kemana? Ke Indonesia? Untuk pertama kali aku menatap wajah dan mata Evan lagi. Sekian lama aku tak berani melakukannya karena takut bayangan Sofie muncul lagi setiap kali menatap Evan.


Evan mendekat, berlutut di kedua lututku. Menatapku tajam seolah tak mau aku melepaskan tatapanku padanya.

“Berikanlah saya kesempatan, untuk memulai semuanya lagi, dari nol. Disini. Seperti dulu lagi. Seperti ketika kita pertama kali bertemu. Disini, Ira, di tanah leluhur kamu. Di tanah tempat kita mengucapkan sumpah perkawinan kita” ujarnya dengan suara bergetar.


Aku tak tahu harus menjawab apa. Jujur, ada rasa kasihan mengalir dalam hatiku saat melihat Evan bersimpuh dihadapanku. Saat mendengar suaranya yang gemetar seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya. Tapi apa rasa kasihan saja cukup untuk membina sebuah rumah tangga? Apa rasa kasihan itu cukup untuk menjadi fondasi sepasang suami istri? Bukankah cinta yang terpenting? Cinta adalah segalanya yang mendasari hubungan dua sejoli, dua manusia. Bukannya rasa kasihan.


“Kalau kamu kasihan pada saya…artinya cinta itu masih ada” kata Evan seperti bisa membaca pikiranku. “Kasihanilah saya. Cintailah saya lagi…”

Tatapan mata kami melekat bagai medan magnet utara selatan. Begitu kuatnya sampai – sampai aku tak bisa melepaskannya lagi. Kekuatan yang telah lama tak lagi pernah kurasakkan. Kekuatan yang menyeretku kembali ke masa lalu kami. Disini. Ya disini, di tanah dewata ini. Ketika pertama kali kami bertemu muka, setelah sekian purnama bertukar sapa lewat tulisan, surat dan email. Bertukar suara lewat sambungan telepon jarak jauh. Dan akhirnya Evan datang, bukan cuma datang menjemput, tapi memutuskan untuk menetap di sini. Bersamaku. Meninggalkan keluarganya, pekerjaannya, tanpa pertimbangan logis.


Saat itu hanya cinta yang dirasakannya. Cinta yang ia yakini memberi kekuatan dan akan membukakan semua jalan bagi kami. Cinta juga yang kemudian membuatku memutuskan meninggalkan tanah air. Supaya adil, begitu pertimbanganku. Supaya Evan bisa berbagi kebahagiaan dan dekat dengan keluarganya. Supaya anak - anak bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Negara maju. Aku ingin membalas cinta Evan dengan merelakan diri diboyong ke tanah airnya.


Cinta telah menyatukan kami. Membukakan jalan, tapi sekaligus juga telah memisahkan kami. Mengajari kami akan arti kebahagiaan dan pengkhianatan. Membukakan mata kami bahwa semuanya tak selalu indah dan mulus dengan mengatas namakan cinta.


“Cinta adalah pengorbanan… Cinta adalah kesadaran. Tapi yang lebih penting lagi, Cinta adalah keabadian….”

Kata - kata itulah yang diucapkan oom Dewo di hari pernikahan kami 12 tahun yang lalu. Kata - kata yang dulu sekedar kata mutiara dari orang bijak, kini telah kulakoni sendiri dalam kehidupanku. Pengorbananku, kesadaran Evan. Keabadian cinta…mungkinkah?

Enya dan Edo kembali sembari berteriak - teriak gegap gempita penuh semangat. Di tangan Edo ada seekor kura - kura laut kecoklatan yang melambai lambaikan kakinya diudara.

“Mama! Mama! Liat nih, ma!” teriak Edo.

“Edo nangkep kura - kura ma !” pekik Enya tak kalah keras.


Kutatap wajah dua permata hatiku itu. Buah cinta kasihku dan Evan. Cinta adalah keabadian…dan keabadian itu telah terwujud dalam diri dua anak manusia yang lahir dari cinta kami. Edo dan Enya.


Kupeluk mereka erat erat. Mungkin mereka bingung dan kaget dengan pelukanku. Air mataku mengalir deras. Tak bisa kuhentikan. Seperti hujan deras yang dituangkan Sang Maha Kuasa untuk memadamkan bara kemarahan dalam hatiku. Mendinginkan bekas luka di bathin. Air mata itu begitu deras, begitu dingin bagai embun pagi. Dan tiba – tiba, sekonyong-konyong, terik matahari di Tanjung Benoa tak lagi kurasakan membakar kulitku.


Cinta itu masih ada, dalam diriku, dalam diri Edo dan Enya bahkan dalam diri Evan. Kalau cinta sudah tak ada lagi, tidak mungkin kami sekeluarga berada disini. Kalau cinta sudah pergi, tidak mungkin Evan berlutut memohon maaf dan membuat keputusan nekad untuk memboyong kami sekeluarga kembali ke tanah airku. Kalau bukan karena cinta tidak mungkin 86 purnama berhasil kulalui di negeri empat musim yang bukan tanah kelahiranku itu. Dan cinta kami telah melalui ujian yang begitu dashyat. Menorehkan pelajaran berharga sekaligus menyakitkan. Tapi bukankah hidup adalah sebuah universitas, dimana kita, manusia, tak akan pernah berhenti belajar dan belajar? Belajar untuk memperbaiki diri. Belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Belajar untuk tidak terjebak pada situasi yang menyakitkan. Bukankah cara belajar yang terbaik adalah belajar dari kesalahan? Dari pengalaman?


Kalau bukan karena cinta tidak mungkin ada Edo dan Enya.

“Kamu benar, Cinta itu masih ada Van…” desisku.

Air mata Evan menetes. Serta merta dipeluknya kami, aku, Enya dan Edo. Tangan Evan yang kekar dan panjang melingkari kami bertiga. Menyatukan kami dan mengajari aku akan kebenaran yang selama ini hanya tertulis dalam buku orang orang bijak : Cinta akan membukakan jalan bagi orang orang yang setia dan percaya pada kebenarannya.


Air mataku terus merembes, menetes ke rambut Edo. Edo menengadah heran.

“Mama kok nangis? Mama takut sama kura - kura ya?” tanyanya lugu.

Aku tertawa, dengan air mata yang masih mengalir. Perlahan sinar terik mentari mengeringkan aliran air mata itu. Kesejukannya masih tersimpan di dalam aliran darahku, menjalar keseluruh tubuhku. Kutengadahkan wajahku ke langit biru yang memayungi pulau dewata, tanah leluhurku.


Bali, aku kembali padamu dan engkau telah mengembalikan cinta yang telah lama membeku. Engkau Yang Maha Kuasa, terimakasih kuhaturkan. Made, kudoakan kepergianmu dan kumohonkan maaf untukmu pada Tuhan. Evan, kuserahkan diriku padamu untuk yang kedua kali.

“Saya janji, saya ngga akan…”

“Shhh…” ku putus kalimat Evan. “Jangan pernah berjanji lagi Van. Karena sekarang kita tahu, manusia tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Kita tidak bisa menjamin janji kita Van. Kita hanya bisa menjalani kehidupan yang diberikan oleh Nya dan belajar dari kesalahan kita sebelumnya…”


Kututup lembaran hari kemarin dan kumulai lembaran baruku disini, hari ini. Setelah kulalui 86 purnama bersama dia yang kucintai di negeri 4 musim. Setelah kuyakini hanya ada 1 cinta diantara kami. Dulu, sekarang dan harapanku, selamanya. Di sini, di bawah terik mentari Tanjung Benoa Bali, Evan berjanji untuk tak pernah lagi mengucapkan janji.


Orangeville, Canada 31 Juny 2009.

TAMAT ataukah ADA YANG TERPANGGIL UNTUK MELANJUTKAN?

1 komentar:

  1. Sangat menarik, dengan untaian kata sederhana dapat menggambarkan isi dari cerita tsb, Keep going and make more books about live

    Bembi

    BalasHapus

ShareThis